Sudah jadi pemandangan tak aneh di era ini melihat orang tak pernah meninggalkan gawainya. Butuh informasi apapun, hanya perlu menekan tombol ‘cari’. Dalam sekejap akan muncul banyak informasi terkait kebutuhan. Ini tak hanya berlaku bagi orang dewasa. Anak-anak-pun sulit melepaskan diri dari gawai pintarnya. Gawai yang semula hanya alat untuk sekolah daring, kini tak lagi hanya itu saja fungsinya. Banyaknya film dan games gratis, membuat anak sulit menegakkan kepala dari gawainya. Jika tak dikontrol, bisa dari pulang sekolah sampai malam tak berjeda. Bahkan, mereka rela berdiri didepan pengisi daya sambil menunggu daya gawai terisi dengan mata terpaku di layarnya.

Yang butuh perhatian lebih dari orang tua adalah isi konten yang bisa dilihat anak. Dari ribuan konten dunia maya, banyak sekali yang tak pantas bagi anak. Konten berisi kebencian, hujatan, hasut-menghasut, mendeskreditkan pihak lain menghiasi isi media sosial kita. Hal-hal yang tak layak malah sering dilihat dan ditonton anak-anak karena dianggap seru. Suara keras, teriakan-terian dan makian memang memunculkan keingintahuan. Karena banyaknya konten-konten tak layak seperti ini, mengerikan sekali jika anak menganggap bahwa membenci, memaki, menghasut dan kata-kata negatif itu adalah hal biasa. Tak ada masalah bila ditiru dan dikuti.

Hal ini tak hanya berlaku bagi anak-anak di kota besar. Seorang anak di daerah yang sangat jauh dari kota, menangis pulang dari sekolah. Dia sekolah di Sekolah Dasar Negeri tak jauh dari rumahnya. Saat ditanya, dia mengatakan tak mau sekolah lagi. Teman-temannya tak ada yang mau berteman dengannya. Dia dijauhi dan dikucilkan. Alasannya karena dia berbeda kepercayaan. Teman-temannya menyebutnya ‘orang kafir’. Orang tua anak ini dan guru menggali lebih dalam. Mereka ingin tahu dari manakah anak-anak mendapat istilah ini. Di sekolah tak pernah diajarkan hal semacam itu. Ternyata sumbernya dari orang di rumah. Ibu mereka memperhatikan siraman rohani yang dilakukan oleh pemuka agama yang cukup terkenal. Ceramah melalui media sosial yang sering dilihat di rumah. Tanpa difilter lagi, disampaikannya pada anak-anaknya. Anak-anak yang tak tahu artinya, langsung menggunakannya sebagai cap untuk kawannya yang berbeda kepercayaan.

Miris hati merasakannya. Banyak orang tua juga tak bijak mencermati isi konten media sosial. Mereka tak memilih dan memilah informasi yang sangat banyak tersedia ini. Banyak yang tak menggunakan ‘kepandaian’nya untuk menyeleksi apakah informasi yang disampaikan dalam suatu konten itu layak tonton. Tak difilter juga, apakah isi konten layak untuk anak atau tidak.

Contoh fakta lain lagi yang mengenaskan. Lagi-lagi ini terjadi pada anak. Seorang anak perempuan usia sembilan tahun tak mau pulang ke rumah. Itu bermula saat ibunya memaksanya menggunakan shampoo merk tertentu. Ibunya marah karena si anak membuang shampoo, sabun mandi juga pasta gigi yang mereka gunakan. Alasannya itu produk negara Zionist yang haram. Informasi ini dilihatnya dari sebuah sharing di media sosial. Dalam video pendek itu, seorang anak tertangkap tangan petugas supermarket mencuri beberapa botol shampoo, sabun mandi dan pasta gigi. Ini bukan kali pertamanya mencuri. Barang yang dicurinya ini tidak digunakannya. Dibuang di kali dan tempat sampah. Menurutnya, mencuri itu tak apa-apa karena yang dicuri adalah produk yang dikeluarkan negara kafir. Negara yang seharusnya dimusuhi. Lagi-lagi itu karena lisan yang keluar dari mulut guru agama panutannya yang dianggapnya benar.

Cerita lainnya adalah murid-murid sekolah dasar yang memukuli temannya menggunakan kayu. Saat orang tua mereka akan dipanggil ke sekolah, mereka protes dengan membakar ban di lapangan sekolah. Ban yang mereka preteli dari sepeda milik murid yang lainnya. Cara-cara ini mereka ikuti dari demo-demo yang diunggah di media sosial dan berulang-ulang ditayangkan di televisi. Anak-anak yang belum mampu menggunakan nalar dengan sempurna untuk menakar mana yang pantas, menganggapnya keren.

Dari kasus-kasus ini, orang tua jaman now punya musuh yang tak terlihat. Musuh yang menyebarkan ujaran kebencian. Musuh yang menebarkan kebohongan. Musuh yang sengaja ingin memecah belah dan mengadu domba. Orang-orang yang mengaku pemuka masyarakat, tokoh agama atau orang pandai, seenaknya saja bicara dan menulis. Tulisan dan video dalam konten mereka mencontohkan caci maki dan menampakkan dangkalnya pengetahuan. Perkataan tak pantas dikeluarkan, intonasi tinggi digunakan untuk menampakkan emosi. Memaki-maki jika tak berkenan di hati. Yang mengherankan, yang melihat untuk sekedar membaca, memberi tanda ‘suka’ atau menuliskan komentar juga tak sedikit. Jika dicermati, komentar yang dituliskan sering menggunakan bahasa tak pantas juga.

Rasanya tak rela anak-anak harapan bangsa ini teracuni konten-konten yang menyebar benih kebencian yang menghasut, memecah-belah dan penuh caci maki tak karuan. Jangan sampai benih-benih negatif itu tumbuh dan berkembang menghancurkan anak-anak harapan bangsa. Dahulu, para pejuang bangsa berjuang dengan semangat, mengangkat senjata mereka untuk meraih kemerdekaan bagi negara ini. Saat ini, inilah perjuangan yang harus dilakukan orang tua. Berperang memerdekakan dunia maya kita dari ujaran kebencian, cacian dan konten-konten negatif ini. Berjuang melalui literasi. Meski sumbangsih kita hanya sedikit. Nampak seperti menggarami air di lautan. Jika kita bersatu bahu membahu, tak ada yang tak mungkin. Meski tak terasa, itu akan mengusik nurani orang-orang lainnya. Sedikit demi sedikit akan menulari yang lain untuk berani berjuang melawan musuh baru ini.

Orang tua, pendidik, content creator, dan semua yang mempunyai keperdulian, mari bersama sumbangkan kemampuan. Buatlah konten-konten mendidik dan menghibur. Ingatkan anak-anak pada kekayaan dan keindahan Indonesia yang luar biasa yang tak dimiliki bangsa lain. Luncurkan konten-konten indah yang mampu membakar semangat kecintaan kepada negeri. Lemparkan tulisan untuk menyalakan api dalam diri agar lebih menghargai keberagaman yang mengikat Indonesia. Bukan saatnya lagi berjuang dengan senjata api. Saatnya berjuang dengan literasi. Bahu membahu menangkis serangan konten-konten kebencian yang akan lekat dalam ingatan anak-anak. Melalui jari-jari kita, jadilah jurnalis yang memperlihatkan dan menyebar contoh baik jurnalisme. Memberi nafas dalam konten tulisan dalam bahasa mendidik. Anak-anak akan dapat melihat sopan-santun, budi pekerti melalui tarian jari para pejuang literasi. Indah dan luhurnya budaya terbaca melalui jemari yang mengetikkan konten berisi.

Ayo, angkat jarimu, para pejuang literasi! Jadilah pahlawan literasi yang berjuang membentengi jiwa anak-anak negeri.

Artikel ditulis oleh: Winni Soewarno

%d blogger menyukai ini: