Jurus tulis menulis sebenarnya pasti dimiliki sebagian besar penduduk Indonesia. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2021, tinggal 1,76% atau sekitar 2,9 juta orang yang masih masuk dalam kategori buta aksara. Angka ini menunjukkan optimisme bahwa penduduk Indonesia sudah dapat mendapatkan informasi dengan cepat. Ditunjang dengan perkembangan media sosial yang sangat cepat, berharap kemajuan teknologi juga dibarengi dengan kemampuan literasi yang baik pula.

Cepatnya informasi, termasuk menguntungkan bagi mereka yang ingin mendapatkan pengetahuan, termasuk mendukung untuk meningkatkan kemampuan. Jika semua orang berusaha mengolah informasi yang diterima, bukan tidak mungkin, kualitas sumber daya manusia Indonesia juga meningkat dengan cepat. Sayangnya, dengan keran informasi yang begitu kencang, tak jarang bercampur dengan berita bohong. Hal ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri karena tidak semua orang mampu menyortir mana berita yang benar, mana yang perlu klarifikasi atau sebaiknya tidak perlu diakses. Kemampuan untuk mengolah informasinya belum siap karena kegembiraan bisa segera memposting,membagikan dan menyebarkan supaya dianggap paling up-to-date.

Berangkat dari keinginan untuk menjadi bagian penyebaran kabar baik yang terbaru, mendidik dan bisa menggerakkan kehidupan di desa, sebuah gerakan menulis bak jurnalis profesional digagas. Bermula dari sebuah letupan, mengapa harus desa yang mendapat gempuran informasi dari kota saja, kegelisahan karena melihat warga desa cenderung asyik menggunakan media sosial untuk mendapatkan informasi, bukan memproduksi berita terkini.

Sekumpulan penggerak kegiatan di desa, sebut saja kader desa milenial merasa, kini saatnya wargadesa mengolah informasi dan bisa menjadi sumber berita yang kaya. Bukankah gerak langkah pembangunan juga bisa diawali dari desa? Komunitas para penggerak desa ini gelisah dan mencari cara untuk membagikan kisah-kisahnya, bukan untuk sekadar viral, tetapi juga ingin membagikan peran sebagai jurnalisme warga.

Dalam beberapa kesempatan diskusi secara virtual diketahui bahwa keinginan para kader desa untuk memberitakan kegiatan di desanya sangat kuat. Bahkan mereka juga mulai membuat akun-akun media sosial yang belajar cara membuat konten. Berbeda dengan dengan akun media sosial yang hanya menampilkan keceriaan dengan pilihan tayangan hiburan, membagikan kegiatan di desa pastilah tidak menarik. Wait, ini menurut siapa? Bisa jadi tidak menarik karena belum tahu cara mengemasnya, kan. Toh, tayangan yang viral pun sebenarnya banyak yang tidak mendidik tetapi tetap “laku” ya karena jari jemari netizen saja yang lebih ringan segera membagikan saat konten-konten yang menyenangkan hati tersaji di hadapan mereka.

Tidak putus asa mencari cara mengolah informasi dari desa, kader desa berusaha membuat variasi konten. Saat ini ada yang aktif membuat konten di YouTube dalam format video yang rupanya masih menjadi pilihan terbaik untuk diterima netizen. Ya, tidak apa, memang manusia itu perlu distimulasi dengan berbagai cara sesuai dengan kesukaannya.

Ragam kegiatan di desa yang mulai menggeliat, sayang sekali jika tidak dibagikan, itu sumber awal keresahan itu, apalagi ada tujuan mulia dengan dilakukannya beberapa aktivitas tersebut. Gagasan untuk menyebarkan perlindungan anak sampai ke warga desa, memberikan pemahaman tentang hak anak sehingga informasi ini bukan hanya ada di buku atau cetakan, tetapi menjadi nilai yang tersematkan pada orang tua, pemerintah desa dan komunitas di desa. Inilah hal yang ingin dibagikan, disebarkan, bukankah ini sumber belajar yang baik? Kegelisahan untuk menuliskan peristiwa di desa inilah yang akhirnya membuat gerakan menulis dilakukan walau tertatih-tatih.

Bagaimana tidak tertatih-tatih menghidupkan kebiasaan menulis? Berapa banyak yang masih menyimpan atau membawa bolpen dan notes dalam kesehariannya? Berapa banyak yang masih menuliskan catatan saat telepon genggam sudah mampu merekam semua informasi dengan begitu cepat dan mudah?

Menulis menjadi kegiatan yang sulit bagi banyak orang, kini mereka terbiasa untuk mengirimkan catatan melalui aplikasi yang ada di telepon gengamnya. Bukan tantangan kalau mudah, ya. Kami berusaha membangkitkan kader desa mau menuliskan gagasan mereka walau sederhana untuk diolah menjadi konten yang bisa dibaca banyak orang. Memulai dengan satu kata, menjadikannya dalam paragraf dan akhirnya dirangkai menjadi keutuhan tulisan sederhana. Itulah perjalanan kami menggerakkan jurnalisme warga di desa.

Beberapa kader yang pada awal mulanya suka menulis memang lebih mudah mengembangkan kebiasaan baru ini, meng-update kegiatan di desa. Bagi banyak kader, ya masih tergopoh-gopoh menuliskannya. Tidak apa, mengawali kebiasaan baru memang membutuhkan proses, temasuk menuliskan pengalaman mereka.

Wadah-wadah jurnalisme warga sangat bisa menjadi teman untuk menunjukkan informasi yang mereka tuliskan. Tidak jarang mereka berusaha membagikannya di kanal-kanal tersebut. Bagi yang tulisannya belum terlalu panjang, menggunakan media seperti FB atau IG sangat disarankan. Media seperti ini bisa menggabungkan informasi berupa tulisan dan foto, walaupun dalam banyak orang lebih tertarik melihat foto atau video. Memang memvirusi orang lain untuk mau membaca informasi juga tidak mudah, apalagi dengan berkembangkan iklan yang cepat, semua orang rasanya ingin cepat dapat informasi tanpa membaca ya?

Tak mudah memulai, tak mudah membiasakan, dan tak mudah mempertahankan. Hanya satu keyakinan bahwa menggerakkan literasi, jurnalisme warga tak boleh mati. Kita ini bukan hanya penikmat berita, tetapi juga penghasil berita dan pengolah informasi, sangat mungkin kitalah yang membagikan kabar terbaru itu. Jika berita yang kita susun belumlah dijangkau banyak orang, bukan berarti tulisan itu tak berguna, prinsipnya, hal baik itu tetap harus diupayakan, sesulit apapun, yakinlah pasti ada jalan untuk mencapainya.

Jadi, apakah kita menyerah pada keadaan dan tidak ingin memvirusi hal baik ini?

Langkah masih panjang, media pasti berkembang sesuai zamannya, tinggal kita yang bersiap, mau mengisi media itu atau hanya jadi penonton saja.

Sebuah gerakan menghidupkan jurnalisme warga, bisa kita lakukan!

Artikel ditulis oleh: Beti M.C.

%d blogger menyukai ini: